Rangkuman Dugaan Sendatan Informasi di Internet Dalam Aksi Massa Belakangan

Aksi demonstrasi 29 Agustus 2025 di depan DPR bukan hanya soal bentrokan. Publik kesulitan mendapat informasi karena media mainstream dibatasi.
Rangkuman dugaan sendatan informasi di internet dalam aksi massa belakangan

Share:

Aksi demonstrasi 29 Agustus 2025 yang berpusat di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyisakan catatan lain di luar bentrokan dan gas air mata. Publik yang berusaha untuk mengikuti jalannya demonstrasi kesulitan mendapatkan informasi karena adanya pembatasan informasi di media mainstream dan sosial media. 

Sehari sebelumnya, beredar Surat Edaran KPID DKI Jakarta No. 319/KPID-DKI/VIII/2025. Surat itu meminta 37 lembaga penyiaran TV dan radio untuk “menghindari liputan demo yang bermuatan kekerasan secara berlebihan”. Alasannya, liputan dan siaran semacam itu dianggap bisa menimbulkan keresahan publik.

Dampaknya lembaga penyiaran membatasi liputan penayangan informasi demonstrasi. Di saat yang bersamaan, banyak warga di lapangan yang mencoba melihat, merekam, dan menyebarkan peristiwa demonstrasi melalui akun sosial media mereka. Sehingga, pada akhirnya publik hanya bisa mengandalkan potongan informasi atau video yang tersebar di media sosial.

Aksi Demonstrasi dan Pembatasan Siaran Media Mainstream

Persis sehari sebelum demonstrasi besar di depan gedung DPR RI berlangsung, 37 lembaga penyiaran telah dilemahkan terlebih dahulu. Itu semua karena surat edaran yang melarang siaran demonstrasi secara langsung serta menghindari liputan demo yang bermuatan kekerasan secara berlebihan. Alasannya dikhawatirkan memicu keresahan dan memperluas mobilisasi massa.

Apabila dirangkum, beginilah runutan kronologi dalam penerbitan surat edaran tersebut:

  • 28 Agustus malam, surat beredar di kalangan jurnalis dan aktivis
  • 29 Agustus, media arus utama tidak melakukan liputan atau siaran secara langsung 
  • 29 Agustus, tidak lama KPID DKI Jakarta menyebut bahwa surat edaran itu “palsu/hoaks” dan mengklaim tidak mengeluarkan instruksi resmi.
  • 29 Agustus, fakta di lapangan lembaga penyiaran tetap tidak memberikan informasi apa pun kepada warga, hanya sumber dari potongan video warga di media sosial

Kemungkinan Gangguan Teknis VS Dugaan Pembatasan Internet

Tidak hanya membatasi gerak media mainstream, gangguan pun dirasakan oleh warganet saat mengakses sosial media. Sejumlah warganet melaporkan X dan Instagram sulit diakses sekitar pukul 17:00-19:00 WIB di hari demonstrasi. Sebagian mencoba menggunakan VPN atau mengganti DNS, tetapi dua cara itu bukanlah solusi yang ampuh untuk warga karena masih ada yang kesulitan mengakses sosial media.

Secara teknis, memang ada kemungkinan gangguan jaringan alami: lonjakan trafik saat ribuan orang berkumpul di satu titik dapat membebani infrastruktur seluler. Hal ini bisa menimbulkan koneksi lambat, aplikasi gagal memuat, hingga mengalami error. 

Namun, pengalaman warga menunjukan pola berulang setiap kali ada aksi besar. Koneksi digital justru terganggu di area tertentu. Pola teknisnya adalah throttling: memperlambat koneksi khusus pada layanan real-time seperti X dan Instagram, yang krusial untuk dokumentasi aksi. VPN yang biasanya jadi jalan keluar pun gagal diakses karena kemungkinan pemblokiran protokol. Tentu dengan pola seperti ini, gejala seperti throttling, DNS blocking, hingga VPN yang tidak stabil lebih mengarah pada pembatasan akses sengaja. 

Kasus serupa pernah terjadi pada kerusuhan Papua, 21 Agustus 2019 ketika pemerintah resmi melakukan internet shutdown di Papua Barat dengan alasan menjaga keamanan nasional. Putusan Mahkamah pada tahun 2020 menegaskan langkah itu ilegal dan melanggar hak asasi. Fakta ini membuat warga lebih curiga jika ada gangguan teknis yang bisa jadi bentuk kontrol informasi yang disengaja.

Publik di Ruang Kosong Informasi

Ketika media mainstream dibatasi dengan surat edaran KPID, dan sosial media melambat, rakyat kesulitan mendapat informasi. Kekosongan ini cepat terisi oleh potongan informasi dan video tanpa konteks dan tak terverifikasi. Warga yang haus akan informasi terpaksa meraba dalam gelap.

Bantahan dari KPID dan KOMDIGI

Baik KPID maupun Komdigi, keduanya sama-sama memberikan bantahan. Ketua KPID DKI Jakarta, Puji Hartoyo, secara tegas menyatakan bahwa surat larangan itu tidak benar dan bukan dikeluarkan oleh pihak KPID. Dia bahkan menegaskan telah melakukan pengecekan kepada 37 lembaga penyiaran yang disebut dalam surat tersebut, dan semuanya menolak pernah menerima imbauan semacam itu. “Nanti boleh dicek ke TV, radio yang dimaksud di surat itu, kan ada 37 kalau enggak salah. Boleh dicek, kami, KPID berkirim surat sebagaimana surat yang beredar itu apa enggak,” kata Puji Hartoyo kepada Tempo.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, membantah sepenuhnya bahwa ada langkah pembatasan akses terhadap media sosial saat demo berlangsung. Menurutnya, semua laporan keterlambatan akses akibat gangguan teknis semata bukan perintah dari pemerintah atau KOMDIGI. “Perlu diketahui tidak ada arahan dari Komdigi maupun pemerintah untuk menurunkan atau membatasi akses terhadap platform media sosial pada saat aksi di DPR tanggal 28 Agustus,” kata Alexander Sabar kepada Katadata.

Meskipun keduanya menyampaikan bantahan, ketiadaan data teknis seperti data lonjakan trafik, analis jaringan atau penyediaan akses pemulihan jaringan membuat warga tetap waspada. Sebab, warga di lapangan yang merasakan gangguan akses internet ke media sosial. Perbedaan antara narasi warga dan narasi institusi menciptakan jurang kepercayaan. 

Akun X SAFENet

Di ruang digital, SAFENet segera merespons dengan peringatan darurat. Mereka meminta pengguna segera mengamankan arsip, mencoba jalur alternatif seperti Mastodon atau Pixelfed, serta mengutak-atik DNS. Akhirnya, warganet saling berbagi tips untuk tetap terhubung, meski sebagian besar tetap terputus. Namun, di luar upaya komunitas sipil, ruang informasi sudah timpang. Dengan media formal yang hati-hati, dan kanal digital yang tidak lancar, celah disinformasi membesar. 

Kenapa Gangguan Bisa Terjadi di Ruang Digital?

Mari kita memahami bagaimana gangguan bisa terjadi, dan secara teknis pemerintah punya kemampuan untuk membatasi lalu lintas internet di area tertentu:

Infrastruktur Internet Tidak Terdesentralisasi Sempurna

Meski internet terasa “global”, jalur fisiknya hanya terpusat di beberapa titik (Internet Exchange, backbone ISP). Jika pihak berwenang meminta operator untuk melakukan pembatasan, lalu lintas dapat diperlambat (throttling) atau di-drop pada tingkat operator atau exchange.

Teknik Pembatasan yang Bisa Dilakukan

  • Throttling, memperlambat koneksi ke layanan tertentu (video, feed real-time).
  • DNS blocking, mengarahkan nama domain ke alamat yang salah sehingga situs tidak dapat diakses tanpa mengubah DNS.
  • Interference/jamming lokal di tingkat seluler, sinyal dapat dikendalikan dengan cara mengatur kapasitas BTS pada area tertentu sehingga paket data menjadi terhambat.
  • Pemutusan VPN, beberapa teknik (mis. pemblokiran protokol VPN, pemblokiran IP address server VPN) membuat koneksi VPN gagal.

Mengapa Sosial Media Diganggu Juga?

Masyarakat membutuhkan informasi yang real-time, sehingga sosial media yang sangat bergantung pada internet real-time (feed cepat, live video) akan mudah untuk diganggu. Selain itu, platform besar punya edge servers dan rute CDN yang berinteraksi dengan ISP lokal. Jika ISP melakukan pembatasan terhadap rute atau blokir kategori lalu lintas tertentu, maka pengguna akan merasakan gangguan. Sehingga jelas, ruang kosong informasi menjadi tujuan utama dari pembatasan ini.

Hak Rakyat Sudah Dilanggar

Hari ketika rakyat turun ke jalan seharusnya menjadi ujian bagi kematangan demokrasi: “apakah negara mampu menerima kritik publik, atau justru memilih menutup akses agar suara tidak terdengar?” Ketika akses kepada bukti, saksi, dan siaran real-time dipersempit, baik oleh surat edaran yang menimbulkan rasa takut maupun oleh gangguan teknis yang memutus jalur komunikasi, publik kehilangan hak paling dasar right to know.

Jika ruang informasi dikekang, internet disekat, serta dalih-dalih teknis terus dipakai sebagai tameng, maka kita patut bertanya: apakah demokrasi Indonesia sedang tumbuh, atau justru sedang dipelihara dalam ruang kosong informasi?

Baca juga: Ketika Mama Sudah Berdiri di Garis Depan Bersama Demonstran: Indonesia Tidak Baik-baik Saja